Kesan Pertama
Kali ini, mimin mau cerita pengalaman yang hingga
saat ini masih selalu Daiisshi ingat. Mungkin nggak akan pernah Daiisshi lupain
sampai kapan pun.
Juli 2015.
Aku yang saat itu masih dalam masa magang di sebuah
Rumah Sakit Umum di daerahku memutuskan mengumpulkan jatah liburku yang hanya
satu hari di tiap minggunya untuk aku gunakan pada tanggal 24-30 Juli 2015. Aku
rela berangkat melayani masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan di hari
Minggu bahkan hari libur lain hanya agar aku bisa menikmati libur panjang di
waktu yang aku inginkan. Beruntung jabatanku selaku ketua koordinasi kelompok
magang, memudahkanku mengatur libur tanpa merugikan siswa dan mahasiswa magang
yang lain.
Bukan. Bukan karena aku egois dan tak ingin membagi libur panjang dengan yang lain, hanya saja hari itu merupakan hari yang sangat spesial untukku. Yah, pria yang belum lama ini telah mencuri hatiku mengatakan akan bertandang ke kotaku demi berkenalan dengan kedua orangtuaku. Tentu aku harus menyambutnya dan memanfaatkan waktu selama ia berada di sini dengan sebaik-baiknya.
Jum’at, 24 Juli
2015.
Hari yang sangat aku nantikan akhirnya tiba. Ya,
hari kedatangan kekasih pujaanku di kota ini. Yah… kami memang menjalin asmara
jarak jauh. Aku yang di Ungaran dan dia yang di Saumlaki. Untuk yang tidak
tahu, sederhananya, aku ada di Jawa Tengah, dan dia ada di Kutub Utara. Eh
bukan, maksudku di Maluku Tenggara Barat. Kami tak terlalu masalah dengan jarak
kami yang berlainan pulau, asalkan komunikasi tetap terjaga dengan baik dan
saling mempercayai satu sama lain.
Kami yang saat itu tengah menjalani hubungan jarak jauh selama hampir 4 bulan sangat antusias pada pertemuan pertama kami. Bahkan malam di mana ia mengabariku bahwa ia tengah dalam perjalanan menuju bandara sukses membuatku tak bisa tidur. Gugup, malu, takut, bahagia, semuanya bercampur dalam benakku. Ah aku merasa seperti gadis SMP yang tengah dimabuk cinta saat itu. Setiap kali aku memejamkan mata mencoba untuk terlelap selalu saja bayang wajahnya muncul seakan tersenyum dan berkata padaku bahwa ia akan segera datang dan membuktikan bahwa ia benar-benar serius dalam menjalani hubungan kami.
Esoknya aku justru bangun kesiangan karena hampir semalaman terjaga dengan hati yang bergemuruh. Bahkan pagi itu saat aku terbangun karena telpon darinya, jantungku berdegup sangat keras. Dalam telpon singkat itu ia mengatakan bahwa ia telah tiba di Bandara Internasional Sultan Hasanudin Makassar dan bersiap untuk take off menuju Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta Jakarta. Aku hanya dapat melongokan mulutku dan berulang kali mengucek mataku. Aku benar-benar masih belum percaya jika beberapa jam lagi aku akan berjumpa dengan pujaan hatiku itu. Bahkan hingga beberapa menit setelah ia mengatakan bahwa kemungkinan ia akan tiba di Bandar Udara Internasional Achmad Yani Semarang pada pukul 13.00 WIB dan menutup telponnya pun aku masih terbengong, seolah tak yakin jika hal itu nyata. Berulang kali aku menepuk pipiku meyakinkan diri bahwa aku tidak bermimpi.
Saat sadar, aku segera bergegas merapikan keadaan
rumah dan mengabarkan pada kedua orangtuaku bahwa tambatan hatiku akan segera
tiba. Aku pun disibukkan dengan kegiatan beraih-bersih rumah yang mungkin
jarang sekali kulakukan, hehe. Hingga tak terasa saat aku melirik jam, jarum
jam telah menunjuk pukul 12.00 WIB. Aku terperanjat, sedangkan waktu yang harus
kutempuh dari rumahku menuju bandara bisa sampai satu jam lebih. Apalagi ini
jam macet menjelang waktu sholat Jum’at.
Akhirnya aku hanya mandi kilat asal wangi saja dan
berpakaian ala kadarnya. Aku mengenakan blouse bermotif batik warna ungu
kesukaanku dan celana jeans panjang warna biru donker. Kusapukan bedak tipis
untuk menutup wajah kucelku, dan sedikit sentuhan pelembab bibir warna pink alami agar wajahku tak terlihat
pucat. Tak lupa hijab sederhana warna ungu polos bertengger dengan manis
menutupi rambut panjangku.
Setelah memastikan penampilanku tampak manis dan tak
berlebihan, aku pun bergegas menuju ke terminal bus kotaku. Aku tak ingin
membuang waktu untuk menunggu taksi yang mungkin baru sampai 30 menit setelah
aku memesannya. Aku pun memutuskan menuju bandara menggunakan jasa angkutan
umum jenis BRT. Aku pikir akan lebih cepat sampai karena jalurnya yang dapat
segera menuju ke bandara. Malangnya, aku justru menghabiskan waktu menunggu BRT
yang menuju ke arah bandara di halte transit pusat kota Semarang
Yang lebih membuatku gusar saat itu adalah ketika
aku melirik arloji yang melingkar manis di pergelangan tanganku, ia menunjuk
angka 12.50 WIB. Saat itu juga aku mendengar deru mesin pesawat melintas di
atas pusat kota. Sangat rendah hingga saat aku mendongakkan pandanganku aku
dapat melihat bahwa pesawat itu adalah maskapai yang digunakan kekasihku.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menghadang satu
unit taksi yang kebetulan melintas di depan halte. Aku sempat khawatir jika
taksi itu sudah ada yang memesan. Namun aku bersyukur ketika sopir armada biru
itu justru membukakan aku pintu dan menanyakan arah tujuanku. Dengan sigap aku
menjawab, “ke bandara pak.”
Sopir taksi yang kuperkirakan berusia 40 tahunan itu
pun segera menancap gasnya menuju bandara. Jarak pusat kota ke bandara
sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya memakan waktu 15 menit. Namun karena
jalanan yang sangat padat, akhirnya aku baru memasuki kawasan bandara pada
pukul 13.15 WIB. Aku segera menyerahkan beberapa lembar rupiah untuk membayar
biaya taksi dan bergegas menuju ke terminal kedatangan bandara.
Rasa bersalah karena terlambat segera menyergapku
kala aku melihat kekasihku telah berdiri di pintu keluar dengan wajah yang
terlihat sangat lelah. Sedikit ragu aku mendekatinya. Awalnya ia yang
menggendong tas ransel besar dan menenteng tas kecil yang sama-sama berwarna
hitam itu tak menyadari kehadiranku. Aku memberanikan diri menyapanya.
“Ehem… maaf aku telat. Udah lama nunggu?” kataku
seraya mengulurkan tanganku. Sudah menjadi kebiasaanku untuk berjabat tangan
dengan orang yang aku temui dan akan aku ajak bicara.
“Eh, iya udah lumayan sih. Dari mana aja?”, jawabnya
sedikit tersentak dan meraih tanganku, menjabatnya. Sepertinya ia tadi sedang
melamun. Aku menangkap raut lelah, kesal, dan sedikit salah tingkah pada
tatapan matanya. Aku sedikit tertawa dalam hati, namun aku hanya menunduk.
“maaf… tadi jalanan macet.” Ujarku masih menunduk.
Ia hanya bergeming. Aku pun mengangkat pandanganku memperhatikan wajahnya.
Sedikit berbeda dengan beberapa fotonya yang tersimpan di memori ponselku, juga
dengan wajah yang selalu menemaniku dalam video call setiap malam.
Namun aura
dewasa dan kharismatik tetap kuat terpancar dari wajah pria berhidung mancung
itu.
“jadi, mau tetep di sini?” aku kembali membuka
suara.
“duduk dulu yuk di situ.” Di mengajakku duduk di
kursi besi yang tersedia di pintu kedatangan Bandara Achmad Yani itu. Kami pun
berbincang ringan tentang beberapa hal hingga aku sadar hari semakin siang. Ia
pasti belum makan, pikirku.
“jadi, mau langsung pulang atau makan dulu?” aku pun
menawarinya.
“langsung pulang aja, mau mandi terus istirahat dulu
baru makan.” Ujarnya seraya bangkit berdiri. Aku pun mengikutinya. Kami
berjalan beriringan menuju area parkir bandara.
“kita pulang naik apa?” dia menatapku.
Astaga, aku lupa meminta sopir taksi
yang tadi untuk menunggu kami. Akhirnya aku hanya bisa nyengir aneh ke arahnya.
Ia yang menangkap maksudku pun mendengus kesal. Yah, aku tahu itu hanya
pura-pura. Aku pun segera memesan taksi melalui ponselku sebelum ia mulai
menceramahiku yang pelupa dan teledor ini seperti biasanya.
Nah, itu cerita Daiisshi tentang
bagaimana kesan Daiisshi saat pertama kali Daiisshi bertemu dengan pria yang
hingga detik ini masih mencuri hati Daiisshi. Bahkan pria itu juga yang terus
mengukir senyum di bibir Daiisshi. Pria itu juga yang tersambung di jaringan
telpon Daiisshi saat Daiisshi mengetik tulisan ini.
Reader setia mimin jangan pada ngiri yah…
Mimin tetap
sayang sama kalian kok… *muach
Comments
Post a Comment